Ibnu Al-Utbiyyah melaporkan hasil kerjanya kepada Rasulullah, “Yang ini adalah unutkmu (bait al-mal) dan yang ini adalah hadian untukku.” Mendengar hal ini,Rasulullah SAW bersabda, “Coba dia duduk di rumah ayah atau ibunya, lalu menunggu, apakah dia benar-benar akan diberi hadiah itu atau tidak.”
Mungkin ada yang beranggapan --dan anggapan itu adalah dibenar-- bahwa Hadis ini diperuntukkan bagi mereka yang tidak mampu memberikan hadiahnya dengan penuh keikhlasan.
Namun anggapan seperti ini juga harus dibarengi dengan sebuah pertanyaan yang sangat wajar dan manusiawi, yaitu, “Seberapakah kemampuan seseorang untuk dapat mempertahankan keikhlasannya, saat ia telah berhadapan dengan penerima hadiah yang memiliki jabatan jauh di atasnya?” Inilah posisi yang sangat rentan menimbulkan praktik-praktik sosial yang tidak fair. Pada saat seperti itu, seringkali nafsu membisikkan setumpuk alasan untuk menjadikan badiah sebagai politik balas budi bagi tercapainya maksud-maksud tertentu.
Dan ketika akal tidak berpikir jernih, maka seseorang tidak lagi sempat mencerna bahwa hal sedemikian tidak akan membawanya pada kesuksesan yang langgeng. Karena sesungguhnya, kesuksesan akan senantiasa “berpikir” pada seseorang ketika ia memiliki mental pekerja keras dan gigih. Adapun praktik sedemikian sama sekali tidak menjadi pelita bagi insan yang ingin meniti jalan sukses.
Namun, itulah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa setiap manusia memiliki sifat dasar yang sama, yaitu ingin mendapatkan segalanya dengan mudah dan terhindar dari segala musibah. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Ma’arij: “Inna al-insana khuliqa halu’an” (Sesungguhnya manusia diciptakan dengan “sifat bawaan”gelisah dan kikir).
Maka, status harta yang diterima seseorang sangat bergantung pada perbedaan status sosial antara pemberi dan penerima. Hadiah yang diberikan pada suatu kondisi status sosial yang tidak seimbang, melainkan juga oleh seluruh lapisan masyarakat yang berhubungan yang berhubungan dengan keduanya.
Sebenarnya keprihatian kita terhadap budaya praktik “pemberian hadiah” ini, lebih disebabkan oleh ketidakmampuan kita untuk menghindarinya. Sehingga dengan tidak terasa dan sangat terpaksa, kita seakan selalu dituntut oleh keadaan untuk melakukannya guna mengambil sesuatu yang sebenarnya telah menjadi hak milik kita sendiri.
Sebab itu, sebagai suatu usaha untuk membersihkan harta kira hendaknya tidak hanya berpedoman bahwa harta yang halalan thayyiban dan benar-benar milik kita adalah yang telah kira usahakan dari kerja halal, namun lebih jauh dari itu, harta yang kita miliki adalah yang kita sedekahkan di jalan Allah. Karena dengan sedekah, berarti status harta iru telah resmi tercatat sebagai milik kita, bukan lagi milik orang lain yang sementara dititipkan pada kita.
Allah SWT berfirman dalam surat al-Ma’arij, “Dan orang-orang yang di dalam tumpukan harta bendanya terdapat bagian tertentu untuk orang yang minta-minta dan serba kekurangan.”
Banyak sekali riwayat para as-salaf ash-shahih yang menggambarkan kepada kita kehati-hatian mereka terhadap hadiah yang mereka terima, salah satunya adalah riwayat Umar bin Abdul Aziz. Riwayat ini dimulai ketika Umar, pada suatu hari, sangat merindukan buah apel, namun keinginannya ini tidak dapat terwujud karena ia tidak menemukan sesuatu pun di rumahnya untuk ditukar dengan apel. Setelah itu, datanglah seorang budak dengan membawa senampan apel. Maka Umar pun mengambilnya, namun ia hanya menciumnya, lalu meletakkannya kembali ke nampan tersebut. Melihat hal ini, Ibny Sa’d --yang menyertainya saat itu-- segera bertanya kepadanya, “Bukankan Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar juga pernah menerima hadiah?” Ia menjawab, “Barang itu bagi mereka memang hadiah, namun bagi amil (pejabat) setelahnya adalah risywah (suap)”
Mungkin tidak terlalu berlebihan jika para ulama menganggap Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah rasyid kelima setelah meninggalnya para khulafa’ Rasyidun, karena sifat pribadi dan karakter kepemimpinannya yang mendekati sifat dan karakter kepemimpinan para pendahulunya itu. Namun demikian, ia masih menganggap dirinya tidak mampu untuk menerima hadiah dari bawahannya, dan hanya menunjuk Rasulullah SAW serta para pendahulunya itulah yang dapat menjaga diri mereka, karena mereka dapat memilah pemberian yang masuk dalam kategori hadiah dan risywah.
Melihat hal ini, tampaknya tidak ada jalan bagi kita selain mengikuti jejak Umar ini. Mungkin sebagian orang masih bisa mengatakan bahwa dirinya sangat ikhlas dalam menerima dan memberikan hadiah kepada orang lain, namun setidaknya, dengan menjaga diri untuk tidak menerima dan memberinya, berarti kita telah menahan saudara-saudara kita untuk memberikan hadiahnya dengan tidak ikhlas.
« Prev Post
Next Post »