-->
author

sticky

close
Bukti Nyata Bahwa Islam Membela Ekonomi Kerakyatan

Bukti Nyata Bahwa Islam Membela Ekonomi Kerakyatan

Di antara dasar muamalah iqtishadiyah (perekonomian) dalam Islam adalah al-adlu (keadilan) dan al-ihsan (profesionalisme). Keadilan berarti setiap pihak, golongan atau individu memperoleh porsi sesuai kemauan dan keinginan mereka untuk berkembang, sekaligus mencegah perilaku zalim kepada pihak yang lemah. Sedangkan profesionalisme yaitu kemampuan untuk ber-itqan, kemampuan menyempurnakan sesuatu dengan sebaik mungkin. “Allah sangat menyukai sekali hamba yang jika melakukan sesuatu lalu ia menyempurnakannya.” (al Hadis).

Ekonomi Islam Berpihak Pada Ekonomi Rakyat

Pertimbangan profesionalisme jangan sampai melupakan konsep dasar keadilan. Karena dalam perekonomian Islam, dasar keadilan yang bisa membatasi kekuatan perekonomian seseorang yang berindikasi melakukan ketidakadilan kepada orang lain.

Ketidakadilan tidak bisa dibiarkan karena akan menyebabkan ketimpangan-ketimpangan dalam sendi-sendi kehidupan manusia, seperti membuka peluang kegiatan monopoli. Rasulullah SAW pernah memberi nasihat kepada Ustman bin Abdurrahman bin Auf, keduanya dikenal sebagai saudagar-saudagar kaya, “Jangan kau jadikan harta kalian mengikat kaki kalian menuju surga.” Peringatan tersebut dimaksudkan agar harta kekayaan terdistribusi meluas kepada semua pihak.

Nabi semasa tinggal di Madinah membela para petani di desa-desa. Beliau melarang praktik jual beli antara orang kota dengan petani di desa-desa dimana saat itu petani yang tinggal di desa sedikit memiliki informasi tentang harga. Seharusnya, mereka mempunyai informasi yang cukup supaya orang kota tidak membeli barang di desa dengan harga semurah-murahnya dengan maksud meraih keuntungan yang sebanyak-banyaknya.

Selain itu, Rasulullah juga melarang praktik ihtikar (menumpuk barang) dengan maksud menjualnya, di saat tertentu nanti, dengan harga yang lebih mahal. Islam juga melarang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh serta melarang penumpukan kekayaan.

Dalam Islam, orang miskin tidak dihujat sebagai orang yang malas dan tidak suka menabung atau berinvestasi. Artinya kegiatan ekonomi yang dipraktekkan oleh Rasulullah di Madinah sangat berpihak kepada orang-orang miskin dan mereka yang lemah ekonominya.

Selain itu Islam menjaga setiap pihak yang bertransaksi agar tidak kecewa, terjaga kepuasan dan keridhaannya. Hal-hal inilah yang membedakan antara ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional yang hanya menjadikan ekonomi sebagai untuk alat memperkaya diri.

Islam menilai, kemajuan ekonomi suatu bangsa bukan didasarkan atas pertumbuhan GNP (gross national product), tapi sejauh mana memberikan pekerjaan kepada rakyat, memberikan peluang-peluang ekonomi yang semakin besar kepada rakyat. Oleh sebab itu sektor riil lebih diutamakan daripada sektor moneter yang hanya menciptakan perputaran uang di antara kelompok tertentu saja. Hal ini sekaligus membuktikan, sasaran ekonomi dalam Islam adalah manusia bukan ekonomi itu sendiri. Jadi betapapun berkembangnya ekonomi kalau tidak mendatangkan kesejahteraan kepada manusia sama saja tidak ada artinya. Dengan demikian kesalahan ekonomi konvensional yang menciptakan gab antara pertumbuhan dengan kesejahteraan rakyat dapat dihindari.

Keberpihakan Islam terhadap perekonomian masyarakat lemah dapat kita simak dari pidato-pidato pelantikan sahabat-sahabat Rasulullah SAW saat menjadi khalifah. Abu Bakar, misalnya, pernah berpidato,”orang kuat di antara kalian, bagiku lemah, sampai aku mengambil hak orang lain darinya. Sedangkan orang yang lemah, bagiku adalah orang kuat di antara kalian ketika aku memberikan kewajibanku padanya atau ketika aku memberikan haknya dari orang lain kepadanya.”

Keteranga-keterangan di atas bisa dijadikan dasar pemimpin neraga untuk mengatur perekonomian negara demi menyejahterakan rakyatnya secara adil dan profesional.

Teori yang mengatakan: bila ajaran agama diterapkan untuk kegiatan ekonomi akan menghasilkan kemunduran tidak terjadi dalam kegiatan ekonomi Islam. Hal tersebut terbukti di zaman pemerintahan Umar bin Khattab di mana 30-40 persen hasil zakat dimasukkan ke baitul mal dan pada masa Umar bin Abdul Aziz seluruh zakat dimasukkan ke baitul mal karena masyarakat malu menerimanya. Mereka malu menerima zakat karena merasa sudah sejahtera. Saat itu bisa kita bayangkan: kesejahteraan melingkupi semua pihak tanpa terkecuali.

Previous
« Prev Post

adblock

Back Top