-->
author

sticky

close
Bila Ingin Kaya Tinggalkan Pertanian Dan Jadilah Pengusaha

Bila Ingin Kaya Tinggalkan Pertanian Dan Jadilah Pengusaha

Di dalam kelas, Prof Dr Ir Sahri Muhammad seringkali memprovokasi mahasiswanya: “Bila ingin kaya, tinggalkan pertanian.” Tak ayal mendengar seruan seperti itu, banyak mahasiswa Universitas Brawijaya terbengong-bengong. Bukankah mereka belajar dan kuliah di Fakultas Pertanian supaya nantinya menjadi petani? Apa yang salah di pertanian?

Pertanyaan seperti itu justru dijawabnya dengan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis. Ia memulainya dengan memetik ayat-ayat tentang zakat. Di situ ia menemukan, ternyata Allah mempunyai maksud tersendiri di balik pengenaan kewajiban zakat lima hingga sepuluh persen bagi para pelaku sektor pertanian, sementara bagi sektor perdagangan padat karya hanya dikenawakan kewajiban zakat 2.5 persen.

Jadilah Pengusaha Tinggalkan Pertanian

Menurut Sahri Muhammad, sektor industri dan perdagangan dikenakan zakat lebih rendah dari sektor pertanian, agar pelaku ekonomi tertarik untuk pindah disnis dari bidang pertanian ke sektor-sektor perdagangan, industri dan agroindustri. Alasannya, sektor-sektor perdagangan, industri dan agroindustri ini memberikan prospek dan lapangan kerja lebih luas ketimbang sektor pertanian.

Petani yang profesional akan dengan senang meninggalkan ladangnya, apalagi sawah tadah hujan, karena sektor pertanian tak lagi memberikan prospek, bahkan dikenakan zakat yang tinggi. Penduduk desa selanjutnya akan terdorong mengadukan nasibnya di luar sektor pertanian, misalnya dengan bekerja di industri yang berpendapatan lebih besar. Akibatnya, jumlah petani di sektor pertanian akan menurun.

Namun, hal itu akan berakibat tingkat pemilikan dan pendapatan petani lainnya akan meningkat. Demikian juga, pendapatan petani yang telah berpindah pekerjaan ke sektor industri pun meningkat meningkat pendapatannya. “Di sinilah letak keadilan menurut syariah,” tegas Sahri Muhammad yang sempat berpikir lama untuk sampai pada kesimpulan ini.

Tentu saja, untuk mencapai perubahan tersebut, diperlukan suatu perencanaan pembangunan kependudukan dan lapangan kerja secara profesional. Apalagi, persoalan kemiskinan di Indonesia diperparah oleh beban jumlah penduduk yang kelewat melimpah, tapi mutu sumberdaya manusia petani masih rendah, sementara pemilikan lahan pertanian semakin sempit.

Kesimpulan seperti itulah yang dijadikan hujjah oleh Sahri Muhammad dalam menjawab keberatan-keberatan sejumlah pakar terhadap sistem zakat yang mereka nilai tidak adil. Dawam Rahardjo, misalnya, menganggap pengenaan zakat lima hingga sepuluh persen bagi sektor pertanian tidaklah adil. Alasannya, kewajiban demikian akan membuat petani yang sudah miskin akan semakin miskin.

Pendapat serupa pernah dilontarkan almarhum Nurcholis Majid. Sementara M Amin Rais pernah mengusulkan, demi keadilan, hendaknya zakat profesi seyogyanya dikenakan hingga 20 persen. Alasannya, dengan bekerja secara ringan-ringan saja para profesional sudah bisa meraih pendapatan yang sangat besar. Masalahnya, baik Dawam, Nurcholis, maupun Amin tak mengajukan dalil syar’i.

Menurut Sahri Muhammad, sistem zakat yang mengacu pada rumusan fikih yang ada merupakan bentuk pendekatan keadilan yang sangat jelas. Penetapan proses zakat yang mengacu pada Sunnah Rasul SAW memberikan indikasi adanya ketentuan atau kebajikan “kontradiktif” yang mengarah pada peningkatan pendapatan masyarakat dan transformasi ekonomi jangka panjang.

Di mana letak kontradiktifnya?  Lihat saja persentase zakat -- pertanian (5% - 10%) yang lebih besar dari perdagangan dan industri yang lebih kecil (2.5%), atau zakat profesi yang seharusnya 2.5% mengacu pada zakat kekayaan yang juga rendah (2.5%) -- tampaknya kontradiktif, sebagaimana dirasakan oleh Dawam, Nurcholis maupun Amin.

Ketentuan tersebut sesungguhnya sejalan dengan prinsip ekonomi yang selalu mengasumsikan sumberdaya alam itu terbatas, betapa pun melimpahnya ia tersedia. Ketika eksploitasi terhadap sumber daya telah mencapai tingkat over exploited, telah tereksploitasi habis-habisan mencapai puncaknya, maka semua tindakan pengelolaan berada pada tingkat keuntungan “nol”.

Karena itu, upaya peningkatan pendapatan dalam pemanfaatan sumberdaya pada tingkat nol, misalnya dengan cara perbaikan teknologi, perbaikan harga produk atau pengurangan biaya produksi via subsidi, hanya akan berdampak jangka pendek. Langkah paling tepat, yang berdampak jangka pendek dan panjang bagi peningkatan pendapatan masyarakat, hanya dapat dilakukan melalui pengembangan “alternatif lapangan kerja” di luar sektor tersebut.

Para pelaku ekonomi boleh saja berkeinginan untuk tetap bertahan mengelolanya, sekalipun sektor pertanian sudah jenuh. Tapi akibatnya, sesuai prinsip ekonomi, setiap peningkatan eksploitasi akan diikuti oleh “penurunan pendapatan”. Perbaikan teknologi hanya akan berdampak pada perbaikan pendapatan petani untuk jangka pendek.

Jadi, menurut Sahri Muhammad, masalahnya buhak terletak pada ketidakadilan sistem zakat. Atau kenapa presentase zakat pertanian lebih besar (5%-10%) dari zakat perdagangan dan industri yang hanya 2.5%. Seorang petani profesional tentu saja akan memilih sektor usaha yang dikenakan beban zakat lebih kecil, yaitu industri. Inilah sebuah strategi investasi dan kredit yang memacu transformasi ekonomi menurut sistem ekonomi zakat dan infaq.

Dengan mengacu pada pendekatan transformasi ekonomi itu, Sahri Muhammad mengusulkan pengaturan besarnya infaq profesional hendaknya didasarkan pada tujuan-tujuan syariah, yaitu menjadikan pembangunan ekonomi terus tumbuh dan berkembang. Caranya, bank syariah memfokuskan alokasi kredit investasinya untuk pengembangan perdagangan dan industri, dengan tingkat infaq maksimum 2.5% dari jumlah produksi (sales) yang diproduksi dan terjual oleh industri yang memperoleh investasi profesional tersebut.

Previous
« Prev Post

adblock

Back Top