-->
author

sticky

close
Masih Patutkah Seorang Ibu Mendapat Predikat Mulia

Masih Patutkah Seorang Ibu Mendapat Predikat Mulia

Al jannatu tahta aqdaami-l-ummahat, surga itu ada di telapak kaki ibu. Demikianlah nasihat untuk anak-anak kita. Apakah pepatah ini masih diajarkan pada anak-anak sebagai ajaran atau sekadar pelajaran saja? Sebab dalam realita kehidupan kita berkisah lain. Tak sedikit yang hampir melupakan jasa seorang ibu. Ibu seringkali diperankan sebagai “sekedar perempuan”. Sebagaimana dikisahkan dalam lakon pewayangan antara kelompok Pandawa dan Kurawa, di mana keduanya hanyut dalam permainan judi dengan dadu.

Seorang Ibu Mendapat Predikat Mulia

Yudistira, salah satu Pandawa, telah berkali-kali berjudi dengan mempertaruhkan segala harta miliknya tetapi tidak pernah menang. Seluruh harta baik rumah, kendaraan, dan tanah sawah telah ludes dipertaruhkan. Yang tinggal hanya istrinya yang cantik jelita yaitu Drupadi. Suatu hari datanglah Sakuni dari kelompok Kurawa kepada Yudistira, merayu agar ia mau mempertaruhkan istrinya. Dengan kepala merunduk Yudistira berkata, “Baiklah akan kupertaruhkan istriku Drupadi dalam permainan ini”.

Bukan main terkejutnya para pengunjung, terutama para orangtua setelah mendengar keputusan Yudistira yang tidak masuk akal dan keluar dari tradisi yang berlaku dikerajaan. Langkah ini mengundang protes tokoh-tokoh seperti Resi Bisma, Krepa, dan Durna. Mereka ikut angkat bicara, “Tidak! Tidak! Kami tidak setuju wanita dipertaruhkan untuk judi, kami harap permainan ini ditunda dulu”. Namun protes apapun tidak dapat mengubah sikap kedua belah pihak, karena Sakuni telah berbuat tidak sportif. Sakuni justru tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada di tangannya. Dadu sudah terlanjur dilempar di atas meja oleh Sakuni, dan hasilnya Kurawa menang. Maka berteriaklah Sakuni, “Aku menang, dan Drupadi menjadi milikku”.

Para Kurawa pun ikut bersorak gembira termasuk Dursosono. Ia diam-diam masuk kamar mencari Drupadi. Drupadi berusaha menghindar dari serangan Dursosono yang menakutkan itu. Tetapi Dursosono lebih cekatan. Drupadi diambil secara paksa sehingga sanggulnya terlepas dan rambutnya terurai.

Drupadi bukan main sedih dan malunya. Suaminya yang pernah dicintai, raib melarikan diri. Drupadi diangkat dan diperlihatkan kepada penonton perjudian. Sambil meneteskan air mata dan menahan emosi, ia berkata, “Oh tuan-tuan dan para hadirin sekalian, kalau kalian mencintai ibu dan para wanita, seharusnya tidak boleh terjadi peristiwa semacam ini”.

Cuplikan kisah pewayangan di atas dimaksudkan sebagai lambing hidup dan kehidupan. Mungkin ada manfaatnya untuk direnungkan. Kisah ini seakan bertutur dan memberikan nasihat untuk siapa saja.

Inilah potret masyarakat yang jahat dan kejam, tak berprikemanusiaan. Mental pemimpin dan tokoh-tokoh negara hanyalah kerakusan, penggemar judi, dan pemalas. Aset negara dikorbankan dan dipertaruhkan demi kelanggengan pribadinya, sampai kaum wanitanya tidak lagi punya nilai. Mereka dipertaruhkan layaknya materi dan uang.

Wanita sesungguhnya ibu dari semua masyarakat. Mereka juga saudara para kaum laki-laki, yang seharusnya mendapatkan hak untuk dihormati dan dimuliakan, bukan dilecehkan sedemikian rendahnya seperti Drupadi.

Mengapa wanita kita agungkan dan muliakan? Karena jasanya yang tidak kecil, dan hanya wanita saja yang diamanati untuk mengandung, melahirkan selanjutnya menyusui anak-anaknya, sekaligus mangasuh dan mendidik mereka, sehingga kelak pantas bila mendapat predikat “surga di telapak kaki ibu”.

Hari-hari ini kita banyak dikejutkan dengan kebanggaan-kebanggaan masyarakat akan anak-anak perempuan di negeri ini. Mereka ditampilkan sebagai komoditi di layar televisi. Foto-foto mereka di tempel di setiap produk bahkan ada juga yang dijelmakan manjadi ikan di “aquarium Kontes Ratu Dunia”. Paham Marxisme mengajarkan, wanita adalah milik pria. Ia harus menuruti apa kemauan pria, sekalipun untuk kejahatan dan profit. Dr Jamal (1991), mengingatkan akan bahaya paham ini sebab wanita-wanita itu dibebani untuk bekerja dan membanting tulang, sehingga tidak bisa melakukan tugas sebagai istri, ibu, dan penjaga rumah tangga dari kehancuran.

Jika wanita-wanita (seperti Drupadi) negeri ini ditanggalkan “sanggul rambutnya”, kehormatannya dengan berbagai upaya, akankah ada kembali wanita -wanita negeri ini yang patut mendapat predikat mulia “surga ada ditelapak kaki ibu”? Pepatah ini telah mendudukkan posisi ibu di mata anak-anaknya sangat agung. Kebahagiaan dan keselamatan anak baik di dunia dan akhirat akan diperoleh dengan “merundukkan hati” berbuat baik  kepada ibu. Bila ibu terluka hatinya sedikitpun, maka sudah pasti “surga” tidak akan berpihak pada kita.

Menyelamatkan anak-anak perempuan kita dari kejahatan-kejahatan “Dursosono” adalah sebuah keharusan. Dengan menyiapkan mereka dalam dunia pendidikan yang baik, melatih mereka untuk menjadi madrasah yang akan mewarnai putrid-putrinya sebagaimana ucapan Ibrahim Hafidz: “al ummu madrasatun. Idza a’dadtaha, a’dadta sya’ban thayyiba-l-a’raq”, seorang ibu itu laksana sekolah. Bila engkau telah mempersiapkan (mengaderkan)nya, maka engkau telah mempersiapkan satu generasi yang baik perangainya (moralnya).

Previous
« Prev Post

adblock

Back Top