-->
author

sticky

close
Manusia Bukanlah Monyet Sirkus Yang Meniru Tanpa Pemahaman

Manusia Bukanlah Monyet Sirkus Yang Meniru Tanpa Pemahaman

Islam historis adalah apa yang dialami dan dipikirkan para pemikir spiritual atau ulama sepanjang abad. Sepanjang waktu, tradisi yang terkumpul disucikan dan dipuja dalam bingkai keagamaan. Kadang-kadang unsur historis tradisi dan pemahaman ini menjadi kokoh sehingga perubahan menjadi peristiwa luar biasa. Coba pikirkan!

Manusia Bukanlah Monyet Sirkus

Menggantikan pemandian umum tradisional dengan shower dan saluran air modern pada awalnya dianggap menentang hokum Islam. Mandi di pemandian umum tradisional dianggap sesuai dengan kebutuhan kebersihan Islam. Demikian pula, pada masa-masa revolusi konstitusional kita (awal abad ke-20) salah satu tokoh spiritual menulis artikel yang menentang kimia, fisika, dan pengetahuan modern. Ia mengatakan, “Kimia menyatakan tidak ada Tuhan.” Namun, kini ia tidak menentang ilmu pengetahuan, ketika mengendarai mobil klasik dan memiliki selera tentang hal itu.

Pemahaman dan penafsiran pemikir spiritual itu tak sesuai dengan Islam. Ini adalah pemahaman mereka. Sama seperti mereka, kami juga memiliki hak untuk membaca al-Qur’an dan mengembangkan pemahaman kami sendiri. Pemahaman seperti itu tidak dapat dititahkan pada kami. Kami memisahkan Islam historis dari Islam esensial melalui analisis. Kami mengacu pada teks asli dan (berupaya) mendefinisikan muatan aslinya dalam terminology mutakhir.

Masyarakat Muslim abad ke-20 dan ke-21 berbeda dengan mereka yang hidup di Mekkah dan Madinah pada 1.400 tahun lalu. Kita punya cara pemahaman yang berbeda-beda di setiap tempat, sesuai kondisi sosial, ekonomi dan politik. Saat ini, dalam setiap generasi, untuk memahami Islam orang harus menganggap dirinya sebagai penerima langsung Kitab Suci, penerima (risalah) Tuhan dan Nabi. Kita memiliki hak untuk menerima serta menafsirkan pesan ini berdasarkan diri kita dan berdasarkan keadaan kita. Menerima tradisi masa lalu hanya karena tradisi tersebut bersejarah adalah negatif.

Selama bertahun-tahun kaum muda tidak berani membaca Al-Qur’an. Mereka diberitahu bahwa memahami Al-Qur’an membutuhkan 101 tingkat pemikiran yang tidak terdapat pada orang awam. Namun, Ali Shariati menasihati para mahasiswanya untuk membaca Al-Qur’an dengan diri mereka sendiri dan mengembangkan metode ilmiah untuk studi dan interpretasi kesarjanaan. Metode ini bisa membawa kepada pemahaman yang lebih baik dan mendalam. Mullah yang membawa barang-barang kuno tidak bisa bermain di arena ini. Karena itu, mahasiswa yang terlibat dalam penemuan dan pengembangan pemahaman mereka sendiri adalah terlibat dalam kegiatan besar. Aktivitas mereka dianggap mengancam pekerjaan para tokoh agama tersebut. Seluruh kelas spiritual akan pension. Padahal, dalam Islam tidak ada kelas tersebut. Kemullahan, berbagai jabatan dan hirarkinya, adalah hal baru.

Dr Syariati memberitahu kita, seorang sarjana Islam tidak membutuhkan pengikut dan tidak menganggap pengetahuannya sebagai sarana kepemimpinan. Mahasiswa pun tidak harus memuja gurunya. Hubungannya hanyalah hubungan pendidikan. Mahasiswa sekarang bisa menjadi guru di hari esok. Hubungan ini mencakup kritisisme. Ia bukan peniru (mimesis). Manusia bukanlah ‘monyet’ sirkusyang meniru tanpa pemahaman. Mahasiswa harus memahami, mempraktekkan dan berusaha meningkatkan pemahamannya sampai ia tak tergantung pada gurunya.

Agama, saat ini, mengendalikan pemerintahan, dan kemullahan rohani menguasai kursi kekuasaan. Islam yang kita jumpai bukanlah Islam tradisional, tapi Islam fundamentalis. Sebaliknya, protestantisme Islam (Islam reformis) adalah intelektual praktis dan manusiawi. Ia adalah agama yang progresif.

Agama yang kita butuhkan sekarang adalah agama yang menghargai manusia dan nilai-nilai (hak-hak asasi) manusia. Dibandingkan dengan agama tradisional, para fundamentalis cenderung dengan kekerasan atas HAM. Mereka mudah menyatakan dan mengkritik, “Siapa pun yang tidak bersama kami adalah musuh kami.”

Protestantisme Islam adalah proyek berkesinambungan. Sebab, kita memiliki kebutuhan yang terus-menerus untuk mengadaptasikannya. Jika pemahaman dan pemikiran keagamaan menjadi kaku dan palsu, kita mengalami kemerosotan. Kebutuhan dan keadaan kita terus berubah. Karena itu, kita harus terus-menerus mengkritik dan menyesuaikan kerangka pemikiran keagamaan.

Previous
« Prev Post

adblock

Back Top