-->
author

sticky

close
Tiga Kriteria Seorang Pemimpin Ideal Menurut Al-Qur’an

Tiga Kriteria Seorang Pemimpin Ideal Menurut Al-Qur’an

Al-Qur’an telah menegaskan tiga kriteria yang harus dimiliki seorang pemimpin. Pertama, dia harus seorang yang shaleh, yakni memiliki moralitas yang dapat dipertanggung-jawabkan. Kedua, dia harus memiliki wawasan luas (basthatan fil’ilmi), sehingga cukup mampu menyelesaikan problem-problem secara konseptual atau teoritis. Ketiga, dia juga harus kokoh dan kuat dalam hal manajemen.

Sesungguhnya ketiga kriteria bagi pemimpin layak, yang telah disusun dan ditulis di berbagai literatur politik klasik maupun modern, itu benar-benar sangat ideal. Semestinya, dengan kriteria itulah seseorang menjadi pemimpin. Tapi kenyataannya, pemimpin dengan kriteria dari literatur ilmu politik Islam tersebut sangat sukar ditemukan sekarang ini.

Kriteria Pemimpin Ideal Dalam Islam

Namun demikian, ketiga kriteria umum tadi sangat relevan untuk dikemukakan lagi bagi kehidupan politik sekarang di Indonesia. Jika ada seorang calon pemimpin yang dapat memenuhi ketiga kriteria tersebut, maka insya Allah ia akan mampu membawa angin segar untuk menanggulangi krisis multidimensial yang mengepung bangsa kita sekarang ini.

Selain itu, relevansi ketiga kriteria tadi dengan kondisi kini sangat jelas dikarenakan problem berbangsa dan bernegara yang ada saat ini berakar dari persoalan-persoalan pribadi. Jadi, persoalannya ada pada manusia. Kalau kita lebih mengerucut lagi, boleh dikata ini adalah “problem moralitas”.

Misalnya korupsi, penyalahgunaan wewenang dan jabatan, pencurian uang negara, kesemuanya terjadi karena hilangnya integritas moral. Di situlah makna dan relevansi kriteria kesalehan patut dikemukakan. Dengan moralitas itulah kita, khususnya pemimpin mendatang lebih mudah mengadakan pemberantasan kebejatan-kebejatan tadi.

Yang harus dilakukan pemimpin sekaran dan mendatang adalah “membenahi manusia” itu tadi, dengan titik pembenahan pada persoalan moralitas. Ini sesuai dengan isyarat perubahan yang disampaikan oleh Allah dan al-Qur’an, “Sesungguhnya Alla tidak mengubah nasib suatu kaum sampai ia mengubah nasibnya sendiri.”

Persoalan moralitas sangat berkaitan dengan pendidikan. Maka aplikasinya, pendidikan sebagai usaha untuk membenahi problem moralitas harus dijadikan sebagai prioritas utama. Caranya, antara lain, dengan membenahi sarana dan prasarana pendidikan, pola pendidikan, dan memperluas anggarannya. Akan selit mengadakan pemberantasan korupsi dan semacamnya kalau akarnya tak dibenahi terlebih dahulu.

Kita masih mencari, dan menanti seorang pemimpin yang sesuai dengan ketiga kriteria tersebur. Masalahnya, jika kita dihadapkan pada realitas yang ada dengan kualitas “barang yang akan kita beli”, tak mudah bagi kita menentukan pilihan yang tepat. Walaupun “barang di pasar semuanya rongsokan” kita dituntut mengambil yang terbaik dari yang ada, dilihat dari prespeektif Islam, setidaknya dapat memenuhi kepentingan umat Islam.

Persoalannya lagi, bukan saja pemimpin ideal tadi harus “muslim”, tetapi kita hendaknya memilih pemimpin muslim yang betul-betul menjalankan Islam. Dan ada jaminan kuat, kalau ajaran Islam diterapkan secara utuh dan konsekuen, kebaikannya bukan saja dilahirkan untuk orang Islam semata, tapi juga bagi warga lain (non-muslim). Bahkan alam semesta pun akan memperoleh kebaikannya.

Inilah implikasi sosiologis penerapan syariat Islam secara utuh dan konsekuen tadi. Dengan demikian cita-cita Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin cepat dapat terwujud. Jadi tidak ada alasan kekhawatiran, ketakutan, gerah, dan sebagainya dari orang-orang non-muslim atas pemberlakuan nilai-nilai Islam di negara yang pluralis sekali pun.

Previous
« Prev Post

adblock

Back Top