-->
author

sticky

close
Kisah Petani Tua Kreatif Dengan Kaisar Sassania Persia

Kisah Petani Tua Kreatif Dengan Kaisar Sassania Persia

Kaisar Anu Syirwan, seorang raja Sassania, dikenal sebagai pemimpin reformis, arif, dan bijak. Saat safari ke pedesaan ia melihat petani tua sedang menanam pohon zaitun. Ia tertegun. “Kenapa orang setua itu berbuat demikian, bukankah pohon zaitun tak cepat berubah sedang pak tani sudah berusia senja?” pikirnya.

Petani Tua Dengan Pohon Produktifnya

Kaisar menghampiri dan menyapa petani tua tersebut lalu berkata, “Saya kira bukan saatnya bapak menanam pohon zaitun karena pertumbuhan dan produktivitasnya lamban sedang usiamu sudah lanjut.” Dengan tenang petani tua menjawab, “Wahai paduka raja, orang sebelum kita telah menanam dan kita yang menuai hasilnya, maka kita tanam agar dinikmati generasi berikutnya.”Zih”, ucap raja dengan spontan. Sesuai kebiasaan, jika raja mengatakan zih (hebat) kepada seseorang, maka orang itu akan dihadiahi sejumlah uang. Maka hak itupun diberikan pembantu raja yang menyertainya kepada petani dengan segera.

“Wahai raja, bagaimana paduka menyaksikan langsung tanaman baginda, betapa cepat ia menghasilkan.” Kedua kalinya, raja mengucap “zih” dan diberikan hadiah berikutnya secara kontan.

“Wahai raja, kebanyakan pohon menghasilkan sekali dalam setahun sedang pohonku ini sudah dua kali dalam sekejap mata,” tutur petani. Dan ketiga kalinya, raja dengan spontan mengatakan “zih”, sehingga hadiah langsung diberikan.

Sampai pelajaran ini, Kaisar Anu Syirwan mengajak rombongan pulang, “Andai terus di sini niscaya kas kita tak cukup untuk imbalan bagi pak tani,” tandasnya.

Memang, zih pak tani, hebat gagasan dan kreativitasmu! Kekaryaan bukan isapan jempol belaka. Pohon yang baru ditanam sudah menghasilkan tiga kali panenan. Tidak harus menunggu setahun, lima, sepuluh, 20 bahkan lebih dari 30 tahun. Anda patut dapat acungan jempol dan seyogyanya diteladani dalam berpikir, bersikap, bertindak, dan bertanggung jawab. Tidak terbatas pada generasi sendiri tetapi generasi mendatang bahkan hingga kini.

Andai sempat tinggal di negeri yang subur ini, aku yakin petani agresif itu tak akan menebangi pohon atau menggunduli hutan seenaknya, apalagi untuk kepentingan perut sendiri. Dan juga yakin, tidak menanam pohon zaitun di sini. Andai tetap saja zaitu yang dipilih niscaya cemoohan yang dituai. Yang jelas, petani kreatif itu tak kehabisan ide prospektif dan aksi produktif untuk anak bangsa dan negara. Telah terbukti melalui dialog lugas dan sikap tegas di hadapan penguasa nomor satu negara teokrasi Persia adidaya saat itu.

Lantas bagaimana, andai Kaisar Anu Syirwan yang bertandang ke negeri ini? Mungkin, raja-raja bumi pertiwi terperangah, kaisar sehebat itu harus berjalan kaki menyusuri kampong dan menyantuni wong cilik. Bukankah Justinyanus, Anthakiyah, dan Yaman bertekuk lutut bahkan Bizantium ikut respect. Lalu kenapa kini ia tunduk di hadapan petani tua? Kaisar mentransfer logika pemikiran petani; “Paduka terhormat, kita datang dari rakyat maka kita pergi untuk rakyat. Bagaimana Anda menyaksikan sendiri wong cilik berpikiran besar bahkan lebih besar dari yang menganggap besar. Aku menghargai yang berharga, properti harus dibagi secara proporsional dan uang negara tak mudah dihamburkan begitu saka.” “Oh, ya!?”

Pelajaran kaisar reformis tak cukup sampai di sini. Ia masih ingin mereformasi mainstream yang menjadikan rakyat sebagai gerobak untuk mencapai kekuasaan yang selanjutnya dimuati sampah, tinta dan limbah feodalisme. Ia mentransfer nation building yang dibarengi dengan character building dengan moral attitude dan mental skill yang jitu. Ia meneladankan komunikasi timbal balik yang dinamis antara pemimpin dan yang dipimpin demi stabilitas pembangunan bangsa. Dengan begitu, terjalin kerja sama sinergis sesuai peran dan posisi masing-masing. Maka inilah pohon prestatif dan produktif. Saat meninggalkan kedudukan, orang lain dapat menikmati hasilnya bukan menuai petakanya. Ibarat gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, maka manusia mati meninggalkan prestasi dan jasa bukan “gading-belang”-nya. “Oh, ya!”

Oh, ya, kaisar belum tahu kebiasaan bahwa “oh, ya” punya kemungkinan interpretasi ironis atau konotasi sinis berarti “bisa tidak” Jika kemungkinan ini terjadi pasti tidak meraup pujian apalagi hadiah tetapi cibiran bahkan hujatan dan tuduhan subversif, menyinggung raja atau makar pembunuhan. Di tambah lagi raja-raja di sini tidak biasa mengeluarkan anggaran negara apalagi kocek pribadi untuk kepentingan seperti itu. “Oh, ya?”

Jauh dari negative thinking, sesungguhnya representasi kaisar dan petani tua dibutuhkan bangsa, bahkan sangat mendesak melihat tuntutan reformasi pada situasi dan kondisi negara ini.

Tercermin dari sekelumit kisah, sosok pemimpin elegan dan ideal. Prestise di bidang militer, diplomasi dan politik global tidak mengabaikan langkah-langkah prestatif di tingkat lokal dalam membina sumber daya manusia dari pelbagai lapisan tanpa unsur diskriminasi. Kalangan bawah atau rakyat biasa bukan komoditas untuk diperjualbelikan demi kepentingan sesaat. Membangun komunikasi massa secara aktif dan concern terhadap kemaslahatan mereka justru merupakan tugas dan kewajiban pada prioritas utama. Prestise pemimpin dan kepemimpinan semakin meningkat bersamaan dengan meningkatnya jumlah prestasi-prestasi yang dilakukan melalui personal approach, mekanisme dan sistem yang mapan.

Previous
« Prev Post

adblock

Back Top