-->
author

sticky

close
Tiga Alasan Utama Korupsi dan Money Politics Di Indonesia

Tiga Alasan Utama Korupsi dan Money Politics Di Indonesia

Di berbagai dokumen keagamaan Islam, terutama di lingkungan kaum sufi, selalu disebut tiga hal sebagai sumber segala tindak kejahatan. Sumber pertama kemiskinan, disusul oleh ketidaktahuan, dan sumber terakhir adalah kerakusan. Ini berlaku juga untuk kasus korupsi yang tergolong kejahatan besar.

Tiga Alasan Utama Korupsi dan Money Politics Di Indonesia

Kemiskinan

Kemiskinan sebagai pendorong atau penggoda untuk menerima suap telah digarisbawahi dalam sebuah hadis Nabi. Kemiskinan tak hanya dapat menjerumuskan seseorang ke dalam tindak kejahatan, namun juga dapat menceburkannya ke dalam kekufuran, yakni pengingkaran total terhadap Allah dan nilai-nilai kebenaran.

Memang tak terlalu sulit menjelaskan mengapa rakyat yang rata-rata serba kekurangan, tanpa pikir panjang, bersedia misalnya mempertukarkan suara (kedaulatan) politiknya dalam pemilihan umum dengan sedikit imbalan materi. Ketika hidup serba kekurangan, hak suara politik menduduki tempat yang tak berarti dalam skala prioritas seorang yang miskin.

Untuk mengatasi kemiskinan yang telah menyebabkan rakyat terjerumus ke dalam dosa korupsi termasuk money politics dengan menjualbelikan suara, seharusnya pemerintah menyelenggarakan pembangunan yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak. Tugas utama negara adalah melakukan segala upaya untuk memberdayakan ekonomi masyarakat yang kurang mampu. Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 sendiri sudah menugaskan hal itu kepada negara.

Untuk ini, Islam memberikan kewenangan kepada negara untuk memungut pajak dari mereka yang mampu; bukan untuk kepentingan para pejabatnya, melainkan untuk kepentingan segenap rakyat dengan mendahulukan mereka yang kurang mampu (at-Taubah: 60)

Sungguh rapuh gagasan terwujudnya kehidupan masyarakat yang taat beragama, bermoral, dan berbudi luhur, tanpa ditopang tingkat kesejahteraan ekonomi yang menjamin pemenuhan kebutuhan pokok warganya. Al-Qur’an menegaskan bahwa kesejahteraan beragama seseorang tidak hanya diukur dengan tingkat kesetiaannya datang ke masjid, melainkan dengan kesungguh-sungguhannya dalam upaya memecahkan persoalan “pangan” dan kebutuhan pokok lainnya.

Ketidaktahuan

Alasan kedua, ketidaktahuan: bahwa misalnya jual-beli hak suara melanggar moral dan kaidah agama. Ini berkaitan dengan pola budaya suatu masyarakat. Ada indikasi kuat bahwa bagi kebanyakan masyarakat kita, baik yang miskin maupun yang berkecukupan, masih merasa samar tentang status imoralitas (jahatnya) praktik korupsi.

Ada pertanyaan kecil dalam benak meraka, apa salahnya menerima pemberian; dan sebagai imbalannya, apa salahnya membalas “kebaikan” hati si pemberi dengan suatu hak suara yang toh kecil nilainya untuk orang miskin; lagi pula, antara kedua pihak, tidak ada ancam-mengancam ataupun paksa-memaksa. Apa yang kita kutuk sebagai money politics, bagi mereka merupakan sekadar ritual saling memberi-menerima, atau tolong-menolong, dan itu merupakan kebiasaan yang mulia.

Paling banter, korupsi menyerupai transaksi jual-beli biasa yang setiap hari dilakukan oleh semua orang di pasar, di kedai, di kantor, dan seterusnya. Di situ tidak ada yang salah dan tidak ada yang harus disalahkan.

Dalam kamus etika dan moral orang Indonesia, yang secara eksplisit definitif dicela sebagai kejahatan yang wajib dimusuhi masyarakat, hanya lima perkara. Dalam masyarakat Jawa ini disebut “Mo Limo” yang terdiri atas: Main, Maling, Madon, Madat, dan Mateni. Definisi kejahatan adalah segala sesuatu yang mencelakakan atau merugikan diri sendiri dan/atau orang lain.

Betapa sulitnya mereka memahami bahwa korupsi yang dinilai tak merugikan pemberi suap dan penerimanya merupakan kejahatan yang patut dijauhi. Dalam pandangan budaya seperti ini transaksi korupsi berlangsung di dalam lingkungan privat, dan tidak terkait dengan sektor publik. Kesadaran kewarganegaraan pemberi suap dan penerima suap masih sangat lemah.

Kurangnya pemahaman menyebabkan kurangnya kesadaran dan kepekaan terhadap dimensi kriminalitas pada praktek suap. Untuk mengatasi distorsi moralitas yang diakibatkan langkanya pemahaman ini perlu diluncurkan suatu gelombang besar kritik budaya yang mampu membongkar wacana etika yang terlalu formalistik.

Kerakusan

Berbeda dengan faktor kemiskinan yang menyerang masyarakat lapis bawah sebagai pihak yang menerima suap, maka wabah kerakusan (thama’) lazimnya menyerang masyarakat golongan menengah ke atas. Karena kerakusan, maka seorang penguasa atau suatu partai yang telah lama berkuasa ingin terus menambah kekuasaannya dengan cara membeli dukungan atau suara rakyat. Juga karena kerakusannya, seorang hakim, jaksa, polisi atau panitera peradilan yang telah memiliki kekayaan lebih dari cukup masih juga mau memojokkan kleinnya untuk memberikan suap dalam memperlancar urusannya. Pastilah juga karena kerakusannya para anggota legislatif di daerah atau di pusat yang telah dicukupi segala kebutuhannya masih mau menjualbelikan suara (kedaulatannya) dalam memilih bupati, gubernur atau presiden atas imbalan sejumlah uang ketimbang mengikuti suara nuraninya.

Ada dua hal yang perlu dilakukan secara simultan untuk mengatasi masalah nafsu pejabat bergelimang dalam tumpukan uang dan kemewahan. Penegakan hukum. Suatu kampanye pemahaman akan kejahatan di kalangan masyarakat luas harus diiringi penyidikan, penindakan, dan pemrosesan hukum yang sah dan efektif. Yang secara moral buruk dan bertentangan dengan prinsip kebenaran dan keadilan, merendahkan martabat manusia dan merugikan sesama, harus diletakkan dalam rumusan hukum positif yang ditegakkan secara lurus dan kuat tanpa pandang bulu.

Langkah kedua untuk mengendalikan kerakusan adalah langkah khas keagamaan dengan menggugah tanggung jawab manusia tidak hanya kepada sesamanya, melainkan sekaligus juga kepada Allah sebagai khaliqnya. Menggugah para khatib sejuta masjid menyampaikan sikap Islam dan kutukan Allah terhadap korupsi, suap, money politics diharapkan dapat menutupi lubang-lubang besar dalam pendekatan hukum yang sering terbentur pada lemahnya pembuaktian formal. Tidak semua yang melakukan kejahatan bisa dibuktikan secara hukum dan dijatuhi sanksi seperti tertera dalam ungdang-undang. Mudah-mudahan iman seseorang kepada Tuhan yang Mahatahu segala perbuatan manusia bisa membuat seseorang menahan diri dari berbuat cela.

Previous
« Prev Post

adblock

Back Top