-->
author

sticky

close
Menguji Kesahihan Hadits Tentang Pemimpin Wanita

Menguji Kesahihan Hadits Tentang Pemimpin Wanita

Hadis tentang boleh-tidaknya seorang wanita menjadi pemimpin memang selalu menjadi perdebatan dikalangan ulama dari dulu hingga sekarang. Di Indonesia, ada sebagian ulama yang membolehkannya dan sebagaian lagi mengharamkan seorang wanita menjadi pemimpin. Dalam tulisan ini hanya akan melihat dari segi dalil hadis yang digunakan, bukan hukum boleh-tidaknya seorang perempuan menjadi pemimpin yang telah difatwakan oleh para ulama. Apakah hadis tersebut sahih atau terdapat ‘ilat/cacat-cacat dari segi ilmu Hadis sehingga mengurangi taraf kesahihannya.

Hadits Pemimpin Wanita Dalam Islam

Bunyi Hadis tersebut adalah: Lan yaflaha qawmun wallau amruhum imra’atan (Tidak akan bahagia suatu kaum jika urusan-urusan mereka dipegang oleh perempuan).

Hadis di atas diriwayatkan oleh al-Bukhari (Hadis no 4073 dan 6570), al-Tirmizi (Hadis no 2188), al-Nasa’i (Hadis no 5293), dan Ahmad bin Hanbal (Hadis no 19507, 19573, dan 19612) dengan lafaz berbeda namun bermakna sama. Lafaz al-Bukhari, al-Tirmizi, al-Nasa’i dan satu dari tiga riwayat Ahmad adalah sama, yaitu lafaz yang disebutkan di atas. Sedangkan dua riwayat Ahmad lainnya berbeda pada satu kata, yaitu dalam penggunaan kata “wallau amrahum.” Dalam riwayat Ahmad, satu menggunakan kata istandu amrahum (menyandarkan urusan-urusan mereka) yang lainnya menggunakan kata tamlikuhum (di raja i). Meskipun berbeda-beda, namun makna dari ketiga lafaz yang ada adalah satu, yaitu menjadi pemimpin tertinggi.

Dari segi jalur periwayatan, pada peringkat satu, yaitu sahabat, hanya terdapat satu perawi, yaitu Abu Bakrah. Sedangkan pada peringkat kedua, yaitu tabi’in, ada empat orang tabi’in: al-Hasan al-Basri, Abdur Rahman bin Jawsyan, Abdur Rahman bin Abi Bakrah dan Abdul Aziz. Pada peringkat tiga, terdapat lima perawi yaitu “Auf, Humayd, Mubarak, Ali bin Zayd, ‘Uyaynah dan Bakkar. Dan pada peringkat ke enam terdapat delapan perawi. Semua ini baru dilihat dari riwayat kutub al-tis’ah, belum lagi kitab-kitab Hadis di luar itu.

Dari jumlah di atas dapat disimpulkan bahwa pada zaman tabi’in Hadis ini cukup masyhur karena telah diriwayatkan lebih dari tiga orang. Demikian pula pada fase selanjutnya. Yang mungkin menjadi masalah adalah pada peringkat pertama, sahabat. Hanya terdapat satu perawi saja, yaitu Abu Bakrah. Dengan demikian, dari segi kuantitas, Hadis ini masuk dalam kategori Hadis Ahad. Meski ahad, jika dari segi kualitas memenuhi persyaratan, ahad tidak mengurangi kesahihan Hadis.

Dalam disiplin ilmu Hadis, kriteria Hadis sahih adalah: 1) Sanad yang bersambung dari awal sampai akhir. 2) Diriwayatkan oleh perawai yang dapat dipercaya dan mempunyai hafalan yang kuat. 3) Tidak bertentangan dengan riwayat lain yang lebih kuat. 4) Tidak terdapat kecacatan riwayat. Melihat sanad riwayat Hadis di atas, Hadis ini secara keseluruhan dapat memenuhi kriteria-kriteria tersebut. Walhasil, dapat dikatakan Hadis sahih.

Namun demikian, Fatimah Marnisi, seorang feminis asal Maroko, yang kemudian diikuti oleh banyak penulis Indonesia pro gender, memper-masalahkan kesahihan Hadis ini dengan beberapa alasan. Antara lain adanya perasaan ketidakadilan pada teks Hadis tersebut, membenturkannya dengan prinsip-prinsip Islam yang menjunjung keadilan dan kesetaraan. Kemudian, mulai mengkritisi sanad Hadis dari atas, yaitu sahabat Abu Bakrah dan berhenti pada kritikan terhadap sahabat tersebut. Kritik yang menurut hemat kami, diawali dengan penuh curiga dan akhirnya, salah paham terhadap sejarah hidup sahabat yang mulia ini.

Tak jauh berbeda dengan Abu Hurairah, Abu Bakrah pun dituduh sebagai pendusta, pembuat-buat Hadis. Bukti-bukti atas tuduhan ini juga dijelaskan. Fatimah Marnisi menggambarkannya sebagai orang yang tidak diketahui identitasnya, orang yang rela membuat Hadis-hadis palsu guna mempertahankan status sosial, orang yang cacat kejujurannya karena pernah dihukum cambuk oleh Umar bin Khattab dengan kesalahan sebagai qazif (menuduh orang berbuat zina).

Berbeda dengan tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepada Abu Hurairah yang sudah banyak dijawab oleh ulama-ulama kontemporer, tuduhan kepada Abu Bakrah belum banyak disinggung kritikus dan pembela-pembela as-Sunnah. Untuk itu, di sini sengaja kami akan mengupasnya lebih jauh.

Mencari biografi Abu Bakrah tidaklah sulit, lebih dari 20 kitab telah memuat biografinya. Abu Bakrah nama sebenarnya adalah Nufa’i bin Haris bin Kaladah bin Amru bin Ilaj bin Abi Salamah Al-Thawafi. Beliau memang berasal dari kalangan budak yang dimerdekakan oleh Rasulullah SAW lewat amnesty umum. Asal seseorang dari golongan budak, dalam pandangan Islam, bukan suatu kehinaan. Sejarah Islam mencatat bahwa beberapa orang sahabat Nabi berasal dari golongan budak. Namun setelah masuk Islam dan melaksanakan keimanan dan keislamannya dengan baik, nasib dan kedudukan mereka berubah. Mereka menjadi orang-orang besar dan terpandang. Sebutlah, Bilal bin Rabah, muezzin Nabi; Zayid bin Harisah, anak angkat Nabi SAW dan digelari sebagai Hibbu Rasulullah SAW. Kemudian anaknya, Usamah bin Zayid digelari sebagai al-Hibbu ibn Hibbu Rasulullah SAW.

Kedua, ketidakpastian nama seseorang karena banyaknya nama, juga bukan merupakan hal yang tercela. Orang tersebut bukan tidak dikenal, akan tetapi lebih dikenal dengan nama-nama tertentu yang bukan nama sebenarnya. Jangankan Abu Bakrah yang berasal dari golongan budak, nama asli Abu Bakar al-Shiddiq dan nama asli bapaknya juga diperselisihkan. Beliau lebih dikenal dengan Abu Bakar ibn Abi Quhafah ketimbang Abdullah bin Ustman. Padahal, Abu Bakar masuk dalam golongan bangsawan Qura’isy.

Ketiga, masalah pencambukan yang dilakukan Umar bin Khattab terhadapnya bukanlah masalah yang rumit untuk dipahami. Kasusnya, Abu Bakrah dan dua temannya yang lain melihat al-Mughirah berzina. Dalam hukum Islam, orang yang sudah memberikan informasi akan adanya perzinahan, kemudian dia tidak bisa mengahadirkan tiga saksi lain sehingga berjumlah empat saksi, maka orang tersebut dan kedua temannya yang lain harus dihukum qazaf, dicambuk 80 kali, sekalipun perzinahan itu benar-benar terjadi dan pasti. Sebaliknya pihak yang dituduh berzina akan bebas dari hukuman. Meski dia telah benar-benar berzina. Di sinilah azaz praduga tak bersalah dijalankan. Kalaulah Abu Bakraah akan berlaku curang, maka dengan mudah dia mengajak orang keempat untuk berbuat kesaksian palsu, kenapa hanya bertiga? Apalagi beliau tahu persis risikonya jika hanya mendatangkan tiga saksi. Kejadian ini justru bukti dari kejujuran Abu Bakrah, bukan malah kedustaannya. Imam al-Baihaqi berkata: Kalaulah saksi kejadian itu lengkap empat orang, niscaya al-Mughirah akan dirajam/cambuk dan Abu Bakrah serta dua temannya: Nafi’ dan Syibi ibn Ma’bad, tidak boleh dicambuk karena bukan sebagai qazif lagi.

Keempat, al-Mughirah yang dalam cerita di atas sebagai penzina, dipastikan oleh Fatimah sebagai al-Mughirah bin Syu’bah. Salah seorang sahabat yang cukup masyhur. Kami sendiri, belum menemukan referensi yang tegas menyebutkan ibn Syu’bahnya. Di sini dimungkinkan bahwa al-Mughirah dalam kasus ini bukan ibn Syu’bah, namun seorang tabi’i yang kebetulan bernama sama. Wallahu a’lam.

Kelima, sikap beliau yang netral dalam fitnah jamal antara Ali dan Aisyah, merupakan sikap dan pandangan banyak sahabat, bukan hanya Abu Bakrah. Sikap netral ini banyak yang membenarkannya karena fitnah tersebut antara Muslim. Yang justru aib dan harus dikritik adalah jika beliau menolah untuk diajak berjihad melawan kuffar tanpa alasan syar’i. jika poin ini kita terapkan, maka Abdullah ibn Umar dan puluhan sahabat lain yang tetap tinggak di Madinah juga harus dicacatkan.

Keenam, dalam catatan kredibilitas Abu Bakrah secara umum. Didapati bahwa mayoritas penulis biografi menilainya sebagai orang yang shalih, termasuk penilaian al-Hasan al Basri, ulama terkemuka yang tinggal satu kota dengan beliau, dan meriwayatkan Hadis ini dari beliau.

Dari segi matan, Hadis ini juga tidak bermasalah. Kesan adanya diskriminasi, ketidaksetaraan, ketidakadilan, haruslah dipahami dengan makna lain, yaitu sebuah ketetapan. Artinya, Allah dan Rasul-Nya berhak untuk mensyariatkan sesuatu, apapun isi dan bentuknya. Kalau memang itu benar dari Rasulullah dan dapat dipertanggungjawabkan keotentikannya, maka tidak lain dari sikap Muslim yang baik adalah sami’na wa atha’na. Kemudian, dapatkah Hadis ini dijadikan dalil tidak bolehnya perempuan menjadi pemimpin atau justru Hadis ini jika ditelaah lebih dalam masih memungkinkan/diperbolehkan pemimpin dari kaum wanita, biarlah para fuqaha yang menjawab. Tulisan ini hanya untuk menegaskan bahwa Hadis di atas adalah sahih. Wallah a’lam.

Previous
« Prev Post

adblock

Back Top